Pada saat ini, jika kita membaca koran, seringkali kita menemukan gambar-gambar unik dari para pemimpin-pemimpin rakyat. Tak jarang, gambar-gambar ini berisi sindiran terhadap para pemimpin rakyat. Nah tentu sudah tahu dong apa sebutan bagi gambar-gambar ini? Karikatur! Betul sekali.... Karikatur termasuk salah satu seni yang unik di mana pada umumnya wajah dilukis menyerupai aslinya namun memiliki ukuran yang lebih kecil pada bagian badannya.
Nah, kita mungkin sudah sering melihat gambar-gambar karikatur ini. Tapi sudahkah Anda tahu tentang sejarah perkembangan karikatur baik di Indonesia maupun di dunia? Mungkin kebanyakan dari kita menjawab belum. Sekarang saatnya kita mencoba untuk melihat kembali sejarah mengenai asal-usul karikatur yang dapat menambah pengetahuan kita semua.
Walaupun gambar satire — seperti gambar hewan yang bertingkah laku seperti manusia — sudah ditemukan setidaknya sejak zaman Mesir Kuno popularitas seni karikatur berasal dari Italia abad Renaisans. Pada mulanya, karikatur dibuat sebagai lelucon iseng oleh para seniman di studio, seperti Leonardo da Vinci dan Carracci bersaudara — Agostino dan Annibale serta Lodovico sepupu mereka untuk menghibur dirinya sendiri atau kawan-kawannya dengan menggambar patron ataupun subjek lukisannya secara berlebihan. Carracci bersaudara diyakini sebagai seniman-seniman pertama yang terkenal akan karikatur mereka dan Annibale diyakini sebagai orang pertama yang menggunakan istilah ritrattini carichi (potret yang dilebih-lebihkan). Selanjutnya, Pier Leone Ghezzi menekuni seni ini dan membangun kariernya dengan lebih dari 2.000 karya karikatur orang kebanyakan maupun tokoh terkenal. Karikatur-karikatur tersebut tidak dipublikasikan ataupun disebarluaskan, namun menjadi hiburan di kalangan elite. Setelah menyebar di Italia pada abad ke-16, karikatur sebagai langgam visual baru menyebar ke pers popular Eropa lebih dari seabad kemudian.
Karikaturisme kemudian menyebar ke media lain, yaitu patung, dimulai dari patung-patung karikatur karya Jean-Pierre Dantan. Gaya patung Dantan ini sangat mempengaruhi para seniman karikatur, sehingga mereka pun menciptakan patung-patung kepala penyanyi, penulis, pemusik dunia terkenal dan banyak aktor terkenal dari Comédie-Française. Bentuknya mungil dan menjadi sangat diminati, dipakai sebagai hiasan ujung tongkat, pegangan kayu, topeng, dan alat permainan lainnya.Dua terbitan Charles Philipon tersebut membuat Prancis menjadi pusat baru perkarikaturan. Sejumlah karikaturis terbaik pada zaman itu dipekerjakan oleh Philipon; Paul Gavarni, J.J. Grandville, dan terutama Honoré Daumier, yang dianggap sebagai seniman paling terampil dalam sejarah karikatur. Baik Philipon maupun Daumier pernah ditahan akibat karikatur mereka di kedua terbitan tersebut yang mengkritik pemerintahan raja Prancis saat itu, Louis-Philippe. Pada salah satu sidang pengadilannya, Philipon menggambar potret Raja Louis-Philippe yang bermetamorfosis menjadi buah pir dan menyatakan pembelaan bahwa ada banyak hal yang mirip satu sama lain di alam sehingga tidak boleh ada pembatasan atas kreativitas seniman. Daumier sendiri pertama kali diadili karena Gargantua, kartun karyanya yang mengkarikaturkan Louis-Philippe sebagai raksasa yang memakan uang rakyat.
Pada tahun 1868 di London, Thomas Gibson Bowles mulai menerbitkan Vanity Fair, majalah 'politik, sosial, dan kesusastraan' yang kemudian terkenal karena memuat karikatur berwarna yang menggambarkan politisi, tokoh sastra, raja atau ratu dari luar negeri, ilmuwan, olahragawan, dan tokoh-tokoh terkenal lain. Sebagian besar karikatur tersebut digambar oleh Carlo Pellegrini — kartunis Italia yang menggunakan nama samaran "Singe" (bahasa Prancis untuk monyet) dan "Ape" (bahasa Inggris untuk kera) untuk mencerminkan pekerjaannya, yaitu menirukan subjeknya dengan tidak sempurna (to ape, dalam bahasa Inggris) — dan Leslie Ward ("Spy"), walaupun banyak seniman lain juga berkarya untuk majalah tersebut. Setiap karikatur tersebut diberi komentar yang mengolok-olok oleh Bowles dan editor-editor selanjutnya yang menggunakan nama samaran "Jehu Junior". Majalah ini disebut sebagai yang paling banyak dibaca oleh para pejabat dan orang kaya Inggris dibandingkan dengan mingguan lainnya.
Karikatur Vanity Fair tersebut mempengaruhi Joseph Keppler, imigran Austria yang menerbitkan majalah Puck di New York, Amerika Serikat. Mulai terbit dalam bahasa Jerman pada tahun 1876 dan kemudian bahasa Inggris setengah tahun kemudian, majalah ini juga memuat karikatur tokoh-tokoh terkenal yang disebut puckograph. Kesuksesan Puck mengilhami penerbit lain untuk menirunya, dan segera saja surat kabar-surat kabar dan terbitan tetap lainnya mulai secara rutin memuat karikatur.
Pada awal dekade ke-2 abad ke-20, Marius de Zayas, seorang karikaturis Meksiko yang hijrah ke New York, mengembangkan gaya seni lukis yang ia sebut karikatur abstrak. Selama berkarya di Meksiko maupun pada tahun-tahun pertamanya di New York, de Zayas menggunakan gaya yang realistik dan representasional. Namun demikian, sewaktu mengunjungi Paris selama hampir setahun penuh dan setelah bertemu Picasso dengan gaya kubismenya, de Zayas mengungkapkan ketidakpuasannya atas metode karikatur tradisional. Sekembalinya ke Amerika Serikat pada tahun 1911, de Zayas mulai mengeksplorasi gaya barunya yang memadukan bentuk-bentuk geometris datar simetris dan persamaan-persamaan matematika. Dengan gaya karikaturnya itu, de Zayas disebut "menjembatani kesenjangan antara karikatur pesohor populer dalam media komersial dengan keprihatinan dunia seni avant-garde untuk menemukan cara inovatif menggambarkan manusia tanpa kemiripan tersurat".
Seusai Perang Dunia I, popularitas karikatur berkembang secara dramatis di Amerika Serikat seiring dengan perkembangan film, fotografi, dan majalah yang membuat wajah para pesohor dari bintang film sampai atlet dan politisi dengan mudah dikenali oleh umum. Karikatur teatrikal menjadi genre tersendiri dalam seni populer masa tersebut, dimulai oleh Al Frueh yang menerbitkan Stage Folk, kumpulan karikaturnya yang bergaya Art Deco, pada tahun 1922. Pada tahun yang sama, Ralph Barton juga terkenal sebagai karikaturis teatrikal setelah menghiasi tirai teater pada salah satu pertunjukan di Broadway dengan 139 karikatur bintang teater, kritikus drama, dan orang-orang ternama dari masyarakat kelas atas New York. Miguel Covarrubias, yang berasal dari Meksiko, menyusul dengan karyanya di berbagai surat kabar dan majalah serta buku kumpulan karikatur pertamanya yang terbit pada tahun 1925, The Prince of Wales and Other Famous Americans. Alex Gard yang berimigrasi dari Rusia juga mengkhususkan diri menggambar tokoh-tokoh teater, terutama lebih dari 700 karyanya yang terpampang di dinding restoran "Sardi's" di New York yang digambar dengan imbalan makan gratis di restoran tersebut sejak tahun 1927 hingga kematiannya tahun 1948. Namun demikian, Al Hirschfeld adalah seniman yang dianggap sebagai tetua semua karikaturis teatrikal.
Karikatur teatrikal Hirschfeld mulai dimuat di sejumlah surat kabar di New York setelah karikatur aktor Prancis Sacha Guitry karyanya, yang semula ia gambar pada salah satu pertunjukan teater Guitry dan membuat seorang wartawan terkesan hingga menyarankan Hirschfeld untuk menjualnya, dimuat di halaman depan surat kabar New York Herald Tribune pada tahun 1926. Akan tetapi, gaya khas karikatur kaligrafis linear Hirschfeld baru berkembang setelah ia mengunjungi Bali pada tahun 1932 atas undangan Covarrubias. Ia mengaku terkesan dengan wayang kulit Jawa dan dipengaruhi oleh gaya seniman ukiyo-e Jepang seperti Harunobu, Utamaro, dan Hokusai, maupun oleh Covarrubias. Sepanjang kariernya, ia membuat karikatur hampir semua tokoh penting teater Amerika Serikat, dan orang yang sudah dibuat karikaturnya oleh Hirschfeld menjadi dianggap tokoh sukses. Karyanya tampil pada hampir semua terbitan ternama selama sembilan dekade, termasuk hampir tujuh puluh lima tahun pada harian The New York Times, serta banyak poster, buku, dan sampul rekaman, hingga kematiannya pada tahun 2003.
Di Indonesia, sebagian karikaturis merupakan kartunis yang sekedar memasukkan karikatur sebagai elemen dalam karyanya. Banyak karikaturis yang menghasilkan karya “potret” yang berkesan asal-asalan. Agak mirip, namun tidak dikerjakan dengan intuisi dan wawasan yang baik, baik dari segi artistik maupun teknik menonjolkan karakter tokoh obyeknya. Jika mencapai tingkat kemiripan, meski boleh dikatakan memadai, namun ia sebenarnya belum memvisualkan potret karikatural, melainkan masih berkutat pada realisme. Karya tersebut tak ubahnya seperti potret, dengan hidung agak dibuat mancung atau pesek, mulut agak melebar, selebihnya mirip. Kesulitan kartunis dalam menciptakan potret karikatural secara revolusioner karena adanya perasaan tidak enak atau sungkan yang berlebihan terhadap tokoh yang menjadi obyeknya. Perasaan sungkan ini bertolak dari rasa mawas diri, bahwa terutama bagi manusia Timur, sebab siapa yang secara sukarela mau digambar wajahnya dengan tidak anatomis. Bagi orang-orang tertentu bisa jadi gambar tersebut dicap menghina, merusak citra si empunya wajah, vulgar, melecehkan, dan sebagainya.
Beberapa kartunis di Indonesia yang berpotensi besar menjadi karikaturis handal, antara lain: GM Sidharta, Dwi Koendoro, Pramono, Jitet Koestana, Gesigoran atau Sudi Purwono (Non-O). Sementara itu Thomas Aquino Lionar (alm.) merupakan orang pertama kali menggarap potret karikatural sesuai dengan arti yang sebenarnya. Sebagai misal, menteri kehakiman waktu itu (Ismail Saleh) digarap sedemikian deformatif, sehingga lebih mirip monyet ketimbang wajah aslinya. Atau juga karikatur Ali Said (Jaksa Agung) yang menggiring asosiasi orang kepada wajah kuda. Namun kedua tokoh terhormat tersebut sama sekali tidak tersinggung atau marah. Malahan mereka memajangnya di ruang kerjanya dengan bangga.
sumber